muslimah

muslimah
bagus

Minggu, 25 Januari 2015

One Big Family - Maher Zain

i wonder, why you and me fight each other
don't you see the similarities between us ??
take a minute and seee your self in the mirror
you look like me those eyes lips you can't denay

have you thought about
why we look the same..
why we feel the same 
don't tell me it's by chance

oooo...
you're my brother..
you're my sister..
we're one big family

oooo...
you're my brother..
you're my sister 
just one big family

it doesn't matter if you life far away from me 
you feel, i feel, you bleed i bleed, you cry and i cry
we sleep and dream, 
sometimes we're sad, sometimes we're happy...
you breathe i breathe,
we love walk talk and we smile

have you thought about.. 
Have you thought about
Why we look the same?
Why we feel the same?
Don't tell me it's by chance

Oh, you're my brother
You're my sister
We're one big family
Oh, you're my brother
You're my sister
Just one big family

I care about you
And I wish you could realize
There's no difference between us two
We're part of one family
No matter how far you are
And even if we don’t know each other
Oh, you and me, me and you, we are one

Oh, you're my brother
You're my sister
We're one big family
Oh, you're my brother
You're my sister
Just one big family 

Selasa, 13 Januari 2015

pasrah segalanya



“Cinta sebelah tangan itu, sakit.” Kata seorang teman saat istirahat makan siang.
"Oh ya ?? Sesakit apa ?” Tanyaku penasaran. Aku mendekatkan kursiku supaya lebih mendengar penjelasannya.
“Rasanya itu, seperti orang yang menderita thypus. Trus, lutut tu rasanya lemas tak terkira. Pokoknya, mau makan susah, liat orang senang senep, apa ajalah dirasakan. Apalagi, kalau lihat ada orang yang tengah bercengkrama dengan mesranya. Weeesss lah. Tambah sakit dan meriangnya tuh.” Lanjutnya. Aku mendengarkan dengan seksama.
“Emang kenapa kok kamu mau tau banget kayaknya ?” Tanyanya tiba-tiba padaku. Aku tergagap. Hampir saja keselek gorengan yang kupesan.
“Ng.. sepertinya, aku pernah seperti itu. Tapi, saat  itu aku tidak tahu kenapa. Rasanya, pedih. Sedih. Rasanya tuh, pengen nangis terus. Gitu dah ah.” Jawabku singkat.
“Kamu pernah ngalamin patah hati?? Aku nggak pernah tahu itu.” Katanya.
Aku hanya diam. Menyeruput teh terakhirku. Memandang keluar jendela kantin. Anganku melayang ke dua tahun lalu.

***
“Kak, ada yang mau ta’aruf sama kakak. Kakak mau ??” Kata adikku. Ini ketiga kalinya aku melakukan ta’aruf setelah dua kali sebelumnya selalu gagal setelah mereka melihat kondisi fisikku.
“Kakak takut dek. Takut mereka nolak kakak lagi karena keadaan kakak yang sekarang.” Kataku. Dia terdiam. Adik laki-lakiku ini memang selalu berusaha mencarikan calon suami untukku. Selama ini, calon yang dita’arufkan juga hasil pencariannya dia.
“Maafin aku ya kak, aku nggak pernah ngasih tau keadaan kakak yang seperti ini sama mereka yang udah bersedia dita’arufkan sama kakak.” Adikku duduk dihadapanku. Aku memandangi wajah gagahnya. Tersenyum simpul menenangkannya.
“Nggak papa. Lagian, kakak yang minta kamu rahasiakan hal ini pada mereka. kakak cuman pengen pendamping yang bisa menerima keadaan kakak apa adanya.” Kataku. Kubelai kepalanya. Kupandangi sekali lagi wajah gagahnya. Mengingatkanku pada ayahanda tercinta. Aku mendesah. Mengambil alih foto ikhwan dari tangannya.
“Gimana orangnya ??” Tanyaku. Ia berdiri lalu menarik kursi kedekatku. Panjang lebar ia jelaskan mengenai orang ini. Ganteng, shalih, baik hati, berpendidikan, dari keturunan keluarga kaya, subhaanallaah pokoknya. Segalanya ia miliki. Benih-benih rasa mulai timbul entah siapa yang memulai. Rasa kagum dan ingin bersama pemuda ini begitu saja muncul.
Pada akhirnya, aku menyetujui untuk melakukan prosesi ta’aruf dengan pemuda ini. Tak ayal, adikku sangat senang mendengarnya. Beribu do’a ia panjatkan untukku. Ia selalu begitu. Seperti ta’aruf-ta’aruf yang sebelumnya.
***
Tibalah waktu dimana akan dilakukan ta’aruf antara aku dengan pemuda itu. Ia datang bersama dengan kedua orang tuanya. Mereka disambut dengan hangat oleh mas Burhan dan Rahman. Sedari tadi, yang kulafadzkan hanya do’a dan permohonan kepada yang maha Kuasa jika dia adalah takdirku, maka satukanlah kami. Jika bukan dia takdirku, bantulah untuk bisa merelakannya.
Tiba waktu saat aku dipanggil. Lengkap dengan kursi roda aku datang keruang tamu. Aku merasa semua mata memandang kearahku. Entah apa yang ada difikiran mereka. aku tidak berani membayangkan. Hujatan, hinaan atau bahkan rasa kasihan.
“Saudara Gilang, ini adik saya yang ketiga. Seperti inilah keadaannya. Kami tidak pernah memberikan keterangan lengkap mengenai hal ini, karena jika kami mengutarakannya, tidak akan ada seorangpun yang mau berta’aruf dengannya.” Kata Mas Burhan.
“Dia mengalami kecelakaan dua tahun lalu. Hingga dia harus kehilangan kedua kakinya. Dan berakhir dikursi roda seperti ini.” Lanjut Mas Burhan.
Hanya hening yang ada. Tak ada komentar, tak ada suara. Benar-benar hening. Aku merasa terintimidasi dengan keadaan ini. Aku sudah hendak mengangat suara namun, ayah Gilang sudah bersuara terlebih dahulu.
“Saya turut berduka atas kejadian yang menimpa adik Mas Burhan. Saya serahkan semuanya kepada anak saya, Burhan. Karena dia yang akan melalui bahtera pernikahan bersama dengan Wulan.” Kata ayah Gilang.
Aku mengintip wajah pemuda yang kebetulan duduk dihadapanku. Lalu kearah wanita yang duduk disebelahnya. Dari raut wajahnya, aku sepertinya tau kalau beliau tidak menyukaiku. Aku hanya pasrah atas keputusan yang akan dibuat pemuda ini. Entah ia akan memilihku atau tidak. Segalanya kuserahkan kepada yang Kuasa.

Rabu, 07 Januari 2015

Smile Moon



Bulan… terkadang saat aku menatapnya, aku hanya berfikir bahwa ia adalah makhluk Tuhan yang paling cantik. Penghias di malam yang gelap, memberi petunjuk pada manusia yang tersesat dengan sinarnya, menenangkan hati siapapun yang memandangnya. Apalagi.. jika di tambah sinar bintang yang bertebaran dI sekelilingnya. Menambah tenang hati siapapun yang melihatnya

Malam menjelang. Fiki belum juga pulang ke rumah. Padahal, aku sudah menunggunya dari satu jam yang lalu. Ada apa gerangan ???? sambil menunggu Fiki aku memandang rembulan yang kini baru berbentuk sabit… hm.. cantik, warnanya yang berpendar kekuningan membuatkku semakin terpana memandangnya. Subhaanallaah memang apapun yang Allah ciptakan selalulah sempurna dan tidak ada sama sekali yang cacat.

“Bulannya cantik ya, kaya aku.” Satu suara mengejutkanku. Aku menoleh ke samping kulihat satu wajah yang selalu tersenyum itu memandangku. 

“Kenapa? Aku cantik ya ? sampe kamu ngeliat begitu?”tanyanya yang masih dengan senyuman.
“Huu ge er aja kamu.. Lagian dari mana aja sih ?? Aku udah nunggu dari tadi eh baru munculnya sekarang. Langsung duduk aja lagi” Aku merengut.

“Hehehe… iya maaf. Kan aku juga telat gara gara ini” Dia menunjukkan bungkusan yang dari tadi disembunyikannya. Disodorkan padaku. Aku mengernyitkan dahi menatapnya. Dia hanya mengangguki mengisyaratkan padaku untuk membuka bungkusan itu. Aku membukanya. Aku sangat terkejut dengan apa yang dia berikan padaku. Entah dari mana dia mendapatkannya. Aku menatapnya. Dia lagi lagi tersenyum padaku. Hm…. Terima kasih ya Allah Engkau mengirimkan ku teman yang paling baik sedunia. 

***

Aku menatap bungkusan itu kembali. Kotak sedang dengan kertas kado berwarna biru warna kesukaanku. Aku pecinta warna biru sedangkan dia pecinta warna gelap. Ketika kutanya ia lagi lagi tersenyum tanpa memberikan alasan apa apa. 

“Suka aja” Itu katanya. Hm.. Simpel seperti orangnya. Namun bukan kepribadiannya yang selalu tersenyum.

Bulan.. kali ini aku kembali memandangnya. Memandang langit hitam gelap yang sudah berhias bintang bintang gemerlapan. Memandangnya dalam diam mengingatkanku padanya. Pada dia yang selalu mengisi hari hariku. Pada dia yang selalu berusaha membuatku bahgaia…..

Malam itu, aku hanya duduk diam di tepi jendela menatap langit adalah hobbiku. Hobbi terpendam yang tak adang seorangpun yang tau. Kecuali…

“Lagi lagi nongkrong dipinggir jendela” Satu suara terdengar. Ya dialah yang selalu menggangguku, menemani hari hariku. Membuatku senang dan bahagia. Terkadang aku merasa, dia sama sekali tidak memiliki kesedihann. Dia selalu memberi senyum. Senyum manis yang membuat hati semua orang bahagia.

“Kenapa suka di jendela ?? kayak kakak tua aja.” Selorohnya. Aku hanya diam tak merespon.

Dia menarik wajahku “Hei, kalau ada orang ngomong tuuu, didengerin. Jangan dicuekin. Okelah kamu lagi sedih, tapi nggak semestinya kamu perlakukan semua orang sama. Setidaknya, kamu beri lawan bicaramu perhatian. Menyenangkan orang dapat pahala kan ???”aku mengangguk menatapnya. Ia tersenyum. Kemudian ikut memandng bintang bintang di langit.

“Aku suka gelap, karena, dengan gelap aku bisa mengekspresikan perasaanku sebebasnya tanpa ada seorangpun yang tau.” Ia menghela nafas.

“Aku juga suka bintang. Karena hanya dengan melihat bintang di langit, aku merasa banyak cahaya yang menemaniku di kegelapan.” Lanjutnya.

Aku hanya bisa menunduk. Kata katanya selalu benar benar membuat sejuk hatiku.

“Aku melihat bintang karena hobby.”

Dia refleks menoleh ke arahku. Tersenyum, dilanjutkan dengan tertawa. Aku memasang wajah cemberut. Dia selalu seperti itu. Selalu bahagia jika aku sudah masuk perangkapnya. “haha… kamu aneh. Masa iya liat bintang itu hobby??”

“Yeee.. Kenapa ?? gak ada yang salah kan ?? mau itu hobby, mau itu karena kebutuhan, semua tergantung sama yang bersangkutan” aku menjawab ketus. Yah, begitulah aku dengan segala kekuranganku. Namun, dia selalu bisa memahamiku. Bagaimanapun keadaanku. Kini, posisinya membelakangi jendela.

“Aku tau kok, aku kan tadi cuman bercanda” entah kenapa, nada bicaranya berubah. Aku tidakk mengharapkan ini. Aku mengharapkan dia yang kembali tertawa ketika aku mengeluarkan kata kata ketus.

Ia masih membelakangi jendela. “Sebenarnya, ada banyak yang mau kuomongin ke kamu dari awal kita ketemu, dari awal kita jalan bareng, dari awal kita ditakdirkan berada di sekolah yang sama.” Panjang kali lebar aku berusaha mendengarkan.

“Kok jadi serius gini sih ??” Aku kembali berkata ketus. Meski dalam hati, aku penasaran apa yang akan dikatakannya. 

“Hmh.. gimana mulainya ya??? Aku udah ngerasa bohong besar sama kamu. Tapi, susah mau ngutarainnya. Sementara, kamu itu, teman pertama dan terakhir buatku. Kamu satu satunya teman yang mau nerima aku apa adanya.” Dalam hati, aku berujar. Gak kebalik tuh ??? aku ingin bertanya apa yang dimaksud. Namun, aku tidak tau apa yang nantinya akan keluar dari lisanku ini. Aku takut, ia tidak jadi membuka rahasianya padaku. Karena jujur saja, aku penasaran sekali tentangnya. Penasaran akan semua rahasia yang sama sekali tidak pernah bocor walau terhadapku. 

Tiba tiba, dia memelukku erat. Erat sekali dia memelukku. Dia jarang, bahkan tidak pernah seperti ini. Sesedih apapun aku, yang ia lakukan paling hanya mengelus kepalaku, merangkul pundakku. Tapi, untuk memeluk seerat ini, ini baru pertama kalinya ia lakukan. 

“Fiki, ng… kamu nangis ??” aku bingung mau berkata apa.  Karena, aku tidak pernah tau kesedihannya. Aku tidak pernah tau masalahnya. Aku juga tidak pernah ada untuknya. Kali ini, aku yang bingung. Akhirnya,  kuputuskan untuk membawanya ke tepi ranjang. 

Ia masih menangis. Aku semakin tidak mengerti. Aduuuh…. Apa sih yang biasanya dilakukan buat ngediamin orang sedih ??? aku nggak berpengalaman dalam hal ini. 

“Kamu bingung yaa ???? Maaf, aku buat kamu bingung. Aku nggak bermaksud buat kamu bingung. Hanya, aku juga bingung gimana ngutarainnya ke kamu” ia tersenyum. Duh, kamu jangan begitu dong, aku tambah bingung jadinya. Ia berdiri menghampiri lemariku yang terletak di pojok ruangan. Mengambil sesuatu di dalamnya. Aku semakin penasaran.

“Ng… aku sebenernya udah lama nyembunyiin ini. Nggak ada satu orang pun yang tau. Termasuk paman dan bibiku yang udah ngasuh aku dari kecil. Aku nggak berani ngaku. Aku takut dengan keadaanku yang sebenarnya, mereka semua takut sama aku. Karena, aku pernah cerita keadaanku sama seorang teman. Dan hasilnya?? Dia menjauhiku sama sekali. Nggak ada yang mau dekat sama aku. Kejadian itu, sebelum aku kehilangan kedua orang tuaku. Setelah itu, aku tertutup meskipun orang yang paling dekat denganku, aku tidak memberi tahu.”

“kamu juga termasuk di dalamnya. Aku selalu bisa menghiburmu. Karena, dengan hanya melihat senyummu, aku merasa tenang. Aku nggak rela kamu terus terusan sedih. Aku nggak rela, kamu terus terusan diam. Dan, aku nggak mau kamu jadi tambah diam kalau tahu ada apa sebenarnya dengan diriku.”  Aku semakin diam. Benar benar diam seribu bahasa. Sebenarnya, apa yang mau kamu utarakan sih, Fiki?? Aku jadi tambah bingung nih.

Ia lalu menyodorkan secarik kertas. aku tidak tau kertas apa itu. Aku mendekatkan kepala. Berusaha membaca apa yang ada di lamanya. Namun, aku menyerah sebelum mencoba. Isinya bahasa inggris semua. Aku tidak bisa dalam hal ini. Aku memilih menyerah.

“udah, kamu nggak bakal bisa baca tulisan ini.” Ia menarik kepalaku ke belakang. Huh.. dia memang selalu meledekku.

“Aku sakit, Da..” katanya pendek.

“Kamu tau kan, kalau aku sering batuk ? keadaan yang dingin di kota ini, membuat batukku semakin parah. Bahkan terkadang, mengeluarkan darah. Aku tau aku menderita sakit paru paru. Yang namanya saja, aku lupa. Aku takut mengingatnya. Aku takut”

“Ng…. Lalu ??? kenapa kamu ceritakan semua ini padaku ??”

“Kamu masih belum faham ???? Aku menganggapmu teman. Teman sepenuhnya” ia kembali berkata yang kurang aku mengerti.

“Memangnya, dengan kamu berkata seperti ini, aku bisa bantu kamu ??”

“Hhh…. Yaa, aku tidak bisa memaksakan dirimu untuk mengerti. Tapi, aku ingin tau kamu satu hal yang dari dulu aku simpan. Aku….jatah hidupku tinggal 2 hari lagi.” Katanya.

Aku terhenyak kaget. Mana bisa begitu ?????

***

“Terus, terus ??? ceritanya gimana lanjutanhya ???” Seorang gadis dengan rambut blondenya antusias mendengarkan.

“Well, lanjutannya …. Aku bingung.” Gadis berjilbab motif abu putih di depannya mendesah.

“Tapi, jujur ini cerita kurang menarik tau. Kurang ‘Ngeh’ gitu. Kurang dapet kesannya. Harusnya, dibuat kayak drama drama melow asal jepang, atau korea, yang lain deh.” Kata gadis berjilbab lainnya.

“Ng.. aku nggak sependapat sama kamu Ndin! Udah bagus kok, aku aja hampir ketipu sama alur ceritanya. Aseli! ku pikir, inii cerita orang pacaran. Tapi, setelah difikir fikir nggak mungkin orang alim macam teman kita satu ini bikin cerita kayak gitu.” Kata gadis rambut blonde.

“Hee… ya udah sih, aku kan di sini diminta jadi komentator. Yaa… aku komen lah. Wong si Jihan yang punya cerita aja nggak sewot kok. Masak kamu yang cuman jadi pendengar setia sewot??” Kata gadis berjilbab yang disebut ‘Ndin’.

Si gadis blonde dengan Andin membuang muka.

“Hey.. Hey.. kalian ini ngapain sih ?? udah ah, jangan pada buang muka gitu. Lagian, ini kan cuman cerita aja. Aku juga baru mulai. Jadi, nggak masalah kalian berpendapat apa. Menurutku, itu semua ngebangun kok. Udah. Senyum dong !! jelek ah, pada manyun kaya bebek gitu.”

Mereka hanya diam sejenak. Sementara di luar, bulan sedang tersenyum melihat mereka.

Kamis, 27 November 2014

It's a joke



Hati-hati naik taaxi di jakarta. !!

Kejadian itu terjadi di hari kamis alias malam jum’at lalu, demi melindungi korban, kita sebut saja namanya Linda. Karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan, malam itu, Linda bekerja sampai malam di kantornya di daerah Kuningan. Kira-kira jam 11 malam, Linda memesan Taxi untuk mengantarnya pulang ke rumah kosnya. “kebon Jeruk ya, Pak!” ujar Linda pada sopir
Sopir taxi itu hanya mengangguk dan langsung menjalankan taxi. Selama perjalanan, Linda mungkin merasa capek karena bekerja sapai larut malam. Supir taxi juga tidak berniat membangunkan atau sama sekali tidak berniat berkomunikasi. Sekitar 20 menit lamanya keheningan terjadi, tiba-tiba dia ingat kalau ia tidak bawa cukup uang untuk ongkos taxi. Di dompetnya hanya ada 25 ribu saja sedangkan biasanya dengan uang toll dan tips ia mesti membayar Rp 40-50 ribu. Linda lalu mencolek pundak pak Sopir taxi dengan niat untuk berhetni dulu di daerah Pejompongan untuk mengambil uang di ATM. Tapi, setelah pundaknya dicolek, tiba-tiba sopir taxi itu secara membabi buta membanting setirnya ke kanan dan ke kiris ambil berteriak histeris, sampai akhirnya taxi itu menabrak pembatas jalan.
Untung saja, Linda dan sopir itu tidak mengalami luka serius. Sopir taxi itu kemudian menoleh ke belakang..
“Maaf ya, Bu. Ibu nggak apa-apa kan ? Ibu sih, colek-colek pundak saya, kagetnya setengah mati bu !!”
“Lho, masa sih dicolek saja kaget !” jawab Linda heran.
“Soalnya ini hari pertama saya jadi sopir taxi, Bu.”
“Emangnya, pekerjaan bapak sebelumnya apa?” Tanya Linda penasaran.
“Sebelumnya, selama 20 tahun saya jadi sopir mobil jenazah” Jawab Pak Sopir.

Selasa, 11 November 2014

It Just a Dream



BUGH !!! sepagi ini sudah terdengar suara berdentum di salah satu koridor kampus. Sebagian mahasiswa mencari sumber suara, sebagian yang lain acuh tak acuh. Aku termasuk salah satu dari sekian banyak mahasiswa yang mencari sumber suara. Aku tersenyum dan menggeleng melihat siapa sumber dari semua kegaduhan sepagi ini.
Melisa, gadis yang biasa kami panggil dengan sebutan “melas” karena memang mimik wajahnya yang selalu melas. (Entah dari mana ia mendapat panggilan seperti itu) terlihat mengaduh kesakitan seraya membereskan bawang eh, barang dagangan, eh, barang-barang yang ia bawa bersamanya.
Namun, aku melihat semua itu. Aku melihat satu sosok dengan tubuh tinggi menjulang bak tiang listrik membantunya merapikan semua barang bawaannya. “HUUUUU……’’ sontak terdengar koor mahasiswa yang melintas. Hm… aku kembali tersenyum melihat Melisa kikuk di tolong pemuda itu. Gilang namanya. Yang kutahu, Melisa memang ‘diam-diam suka’ padanya. Haha… aku tertawa dalam hati. Yah, kuakui walalupun memang si Gilang itu, punya postur tubuh yang tinggi menjulang, ia juga punya wajah yang oke punya. Punya otak yang wuiss…. Poko’e, mantap lah.
Dibalik itu semua, ia juga pasti punya kekurangan yang hanya dia dan Allah yang tau. Maklum, kan dia juga manusia. Manusia tiada luput dari kesalahan dan kekurangan. Betul ???
Aku mendekati Melisa setelah semua manusia yang membuat kerumunan ‘membubarkan’ diri tanpa diminta. Dan tampaknya, Melisa sedikit merasa lega, mungkin sedikit merasa bebas setelah sebelumnya berdetak kencang tuh jantung. Aku melihat mimik wajahnya. Haha, warnanya merah kuning hijau sodara sodara macam permen nano-nano yang ramai rasa.
“Ciee…. Yang baru ditolong sama pujaan hati…” godaku ketika tiba di hadapannya. Yang digodain hanya diam sambil mengulum senyum. Lucu sekali temanku satu ini. Pipi tembem dan mulut kecilnya membentuk segitiga.mirip piramida nggak jadi. Hehehe.
“Apaan sih, kamu jangan tambah aku malu doong!!” katanya . aku  semakin jadi menggodanya.
“Habisnya, mukamu itu looh, nggak kuat aku ngelihatnya. Gemes.. masa jadi merah kuning ijo begitu. Baru ditolong gitu ajaaa… udah tambah kesengsem. Gimana kalo di ajak nikah” kataku sambil menekankan sedikit nada bicara di NIKAH. Wajahnya tambah jadi merah. Aku semakin terkikik.
“Udah ah, sono ke kelas !” pada akhirnya, dia berjalan mendahuluiku menuju kelas.
Kami berdua baru saja tiba di kelas ketika tiba tiba seseorang  menyapa kelas kami dengan suara khas yang cempreng.
“PAGI SEMUA !!!”  lalu, sekejap kemudian, telah muncul di hadapan kami semua sosok gadis kecil dengan ransel putih yang ukurannyae setengah lebih besar dari ukuran  tubuhnya. Ia berjalan menghampiri aku dan Melisa. Rida.  
“Hai, Melas! Apa kabarmu pagi ini ??” tanpa wajah berdosa, ia menyapa Melisa. Aku hanya geleng geleng kepala. Sebelum aku meletakkan semua barangku di meja, dia sudah lebih dulu duduk si kursi yang biasa kutempati.
“Zul, aku duduk sini ya sekarang. Kamu duduk di sampingnya Hamzah. Aku bosan duduk sampingan sama dia. Aku terkejut. Kaget mendengar kata kata yang terlontar dari mulutnya yang memang ceriwis itu. Aku ???? duduk di samping Hamzah ??? apa kata dunia ????
Aku hanya diam terpaku di tempat. Sampai tidak sadar kalau tangan Melisa melambai lambai di depan mataku.
“Hallaw !! ada orang di sana ??? Rida di sini.” Perkataan Rida barusan menyadarkan kekalutanku.
“Tapi Da…. Aku nggak biasa.”
“Alaaah… orang cuman duduk doang. Biasa ajha kali !! Heeeee….. aku curiga neeeeh…..jangan jangan…. Kamu punya rasa lagi sama dia” Katanya.
“Heh ! sembarangan aja kalo ngomong. Ya nggak lah, aku kan nggak pernah sekalipun duduk sampingan sama cowok.” Aku mulai sewot.
“Ya udah, sekali ini aja. Beneran, aku bosan duduk di sono” katanya seraya memberi isyarat tempat duduk yang berada tepat di pojok depan kelas. Aku menghela nafas. Ni anak kalau udah punya kemauan kagak bisa dihalang halangin. Ampe sebel kalo mau nurutin. Masalahnya, kadang tu permintaan bertolak belakang 180 derajat sama aku.
Aku bersungut sungut pergi meninggalkan mereka berdua menuju tempat duduk ‘baru’ sementara ku hari ini. Fuuuuuuh…. Masa iya aku harus duduk sebelahan sama Hamzah??? Nggak banget deeeh. Aku malu… dasar Rida! Tega banget anak itu. Aku berdo’a dalam hati semoga ‘tetangga’ ku ini nggak turun hari ini. Please, ya Allah… aku bisa mati kutu kalau duduk di sini. Sama cowok pula. Fuaaaah !!!
Aku masih sibuk dengan diriku sendiri sebelum aku sadar seorang sudah duduk di bangku kosong di sebelahku. Oh my to the God!! Aku menirukan gaya artis di TV. Sedikit menunduk dan melirik ke kanan. Huaah… aku nggak tau harus berbuat apa. Secara gitu loh. Aku selalu duduk di samping Melisa atau siapapun teman cewek yang ada di kelas ini. Tapi, sekarang ?? Ummi…. Tolong anakmu ini !!
“Tumben duduk di sini. Si Rida mana emangnya ???” dia mulai bertanya. Kepalanya celingukan mencari satu-satunya teman yang selalu nempel ama aku.
Aduuuh….kenapa pake nanya segala sih ???? aku merasakan keringat dingin mengucur di seluruh badan ku. Aku berusaha setenang mungkin. Tapi, aku nggak bisa. Aku merasa seluruh tubuhku kaku.
“Ng… Ri… Ridanya, a.. ada di belakang sa.. sama si Melas, eh… Melisa maksudku” hadeeeh…. Lega banget rasanya bisa ngomong. Aku memutar mutarkan pulpen di tanganku. Khas kebiasaan kalau aku lagi gugup berat. Hingga akhirnya, PLUK !! yah, pulpen itu jatuh ke lantai.
“Kamu lucu ya… Nih, pulpennya.” Katanya seraya memberi kan pulpen ke hadapanku.
Aku tambah malu sodara sodara. Entah bagaimana pipi tembemku ini berubah menjadi merah merona ditambah merah delima bercampur merah muda karena MALU. Yang bersangkutan hanya diam dan anteng di tempat duduknya. Duh… tengsin sodara sodara. Aku berusaha sekali lagi untuk duduk tenang. Memperbaiki posisi duduk yang sudah mulai sedikit melorot dan mencong sana sini. Maklum lah, aku kalau duduk nggak pernah bisa diam. Setiap sepuluh menit, aku harus ganti posisi. Karena yaaa… itu tadi. Aku mudah bosan, dan mengantuk. Apalagi kalau harus menghadapi mata kuliah sastra dasar pagi ini.
Satu tulisan besar tau tau sudah ada di hadapanku. ‘’NGANTUK???” orang itu. Jangan terang terangan gitu juga kali. Aku menoleh ke arahnya. Dia terlihat duduk tenang. Aku berharap, ini semua cepat berakhir. Kalau bisa detik ini. Cepat selesai… cepat selesai… cepat selesai…..
Huuuh… benar benar si Rida itu. Aku bisa mati kutut, eh mati kutu. Jangan lama lama bu dosen.
“Yak, anak anak kita sudahi dulu materi kita kali ni. Jangan lupa tugas yang baru saja saya bagikan. Pertemuan berikutnya kita diskusikan bersama. Jangan lupa tugas ini, dikerjakan berdua dengan  teman pasangan kalian” aku mendesah. Lagi lagi tugas. Kapan lepas dari tugas ???
“Jangan lupa, jangan main ganti pasangan. Faham ??” lanjut si Ibu Dosen.
“FAHAM.” Layaknya anak SD, seluruh isi kelas menjawab. Tapi, tunggu dulu. Ini tugas dikrejain berdua ??? yakin ??? Trus, aku kalau gitu kerjain sama ne bocah, gitu ??? Sekali lagi, ngalay-ku kumat. Oh my to the God !!! Aku merasa tulang sendiku lemas dan meleleh seketika.
“Kapan neh, mau ngerjain ???” si Hamzah, tau tau sudah menghadap ke arahku. Aku, reflek gelagapan sodara sodara. Nggak pernah seumur hidup seorang Hafidzul ngobrol berduaan sama makhluk bernama laki-laki. Duh, aku ngalay lagi sodara. Kalo emang nggak pernah yaaa… mau di begimanakan lagi gitu kan ??? So, wajar kalo aku ngalay bin gelagapan kayak sekarang.
“Tenang, Zul.. Tenang…” Aku berusaha menenangkan diriku sendiri.
“Kapan kau bisa. Tapi, ngerjakannya sendiri sendiri aja ya?!” Pintaku tanpa sedikitpun menoleh ke arahnya.
“Memang siapa yang mau ngerjain bareng ??? Aku sudah bagi  dua. Nih !” Katanya seraya meletakkan secarik kertas berisi tugas yang baru saja di beri Bu Lastri Arian.
“Jangan lupa, tulis tangan bentuk makalah.” Tambahnya sebelum beranjak pergi dan meninggalkan kelas saat itu juga.  Aku malu sodara sodara. Haish!! Dikit dikit malu ya ?? Mungkin kalian bosan mendengar kata MALU yang selalu keluar dari mulutku. Itu wajar. Karena aku mamang pemalu. Hahaha.
Aku melirik ke belakang tempat Rida dan Melisa duduk bersama. Aku iri pada mereka. nggak perlu bersikap kikuk sepertiku. Aku masih harus bersabar. Karena, setelah ini, masih ada satu mata kuliah yang harus kulalui sebelum jam istirahat tiba. 
Alat peraga untuk mata kuliah hari ini sudah disiapkan, layar monitor dan proyektor sudah menyala. Dilihat dari alat peraga yang disiapkan, sepertinya kali ini bahasanhnya adalah Anatomi. Mata kuliah terberat setelah Kegawat Daruratan Dasar semester ini.
Aku belum memperkenalkan kampus dan jurusan yang kutuju. Asal langsung jadi dan beres. Aku sebenernya sedikit tidak enak untuk menjelaskan secara detail. Sebaiknya nanti kalian semua tanya pada Rida ataupun Melisa. Mereka lebih tahu tentang kampus ini. Mereka berdua paling hafal seluk beluk kampus beserta lorong lorongnya. Aku hanya akan memberi tahu kalian nama, dan juga jurusan yang aku ambil. Namanya adalah “tiiiiiit………SENSOR…..tiiit” lalu, jurusan yang kuambil, keperawatan. In Syaa Allah. Oke. Itu aja. Sekian dan terima kasih.
Kembali ke mata kuliah ke dua hari ini.
“Zul, tolong pegang buku besar ya, aku izin ma_kul ke-dua. Mau pulang. Pamanku meninggal.” Kata Lyez. Si sekrertaris dengan mata empatnya itu padaku. Aku mengangguk dan menerima buku besara darinya. Ini sudah menjadi kebiasaanku untuk menggantikan posisi Lyez di saat saat tersulitnya menjadi sekretaris di kelas kami. Karena, tidak ada seorangpun yang menandingi kecantikan tulisan Lyez di antara kami. Tapi, bukan  berarti dia menitipkan buku besar ini ke tanganku karena tulisanku menjadi terbagus ke-dua atau sejenisnya. Dia menitipkannya tak lain dan tak bukan hanya karena aku tidak menjabat untuk menjadi pengurus di kelas ini. Karena memang kedatanganku yang terlambat waktu pemilihan organisasi kelas pertama kali.
“Tulisan mu bagus ya ternyata.” Dia yang berkomentar pertama kali. Hadeh.. malu saya. Nie orang kayaknya suka banget ya, gangguin orang yang lagi pengen anteng ?? Sejujurnya, aku diam-diam ngerasa adem ayem aja. Malah rasanya sekarang tambah pengen di becandain. Dasar, childiss. Namun, aku akan selalu menyalahkan si Rida dan Melisa yang sudah “sengaja” mempertemukanku dengannya.
Rida, kamu kurang kerjaan tau nggak seh !!! aku berusaha konsentrasi. Dosen sudah masuk ruangan mulai 5 menit tadi, dan aku masih sibuk menulis laporan di buku beasar. Menulis nama nama siapa saja yang tidak hadir hari ini.
“Sst.. ssst..” seseorang di belakangku memanggil. Secarik kertas disodorkan ke tanganku. “Cie.. yang duduk sama Hamzah, So Sweet Banget..” Aku tau itu tulisan Rida yang khas dengan model yang nggak tau type apaan. Haha.. aku tertawa kecut dalam hati. Emang bisa gitu ya???? Entahlah. Nggak tau saya.
Waktu berlalu dengan cepat kali ini. Mungkin karena aku menikmati mata kuliah ini, entah juga karena aku lumayan merasa nyaman di sini, entah juga karena aku tidak bosan duduk di sini. Entah juga karena aku menentramkan diriku. Aku menarik nafas lega. Akhirnya, bisa bergerak bebas sesuai keinginanku. Bisa jalan jalan keluar menghirup udara segar setelah empat jam dijejelin dua ilmu yang dijadwalkan untuk hari ini.
Aku masih melamun saat si Hamzah itu menegurku. “Minta tanda tangan, Neng! Ngelamun aja” Aku tergagap mendengar perkataannya. Senyum kikuk keluar. Segera aku bergegas ke depan kelas sebelum beliau keluar. Terima kasih buat Hamzah kuucapkan dalam hati.
“Cie… cie.. cie… yang duduk be duaan sama Hamzah” tiba tiba, dua makhluk saturnus itu mendekatiku. Mereka dengan santainya menempati tempat duduk ku dan juga Hamzah. Aku mencari ke seisi kelas. Si Hamzah sudah tidak di tempat. Lho?? Kenapa aku malah mikirin dia sih ??? Istighfar, Zul istighfar…. Aku mendesah. Hm.. piktor neh sudah.
“Heee…… Ngelamun lagi dia orang Mel! Mentang mentang dapat kesempatan dalam kesempatan.” Si Rida nyeletuk lagi.
“Apaan sih kalian ini??? Aku lapar, ayo ke kantin” Aku berusaha mengganti topik supaya mereka tidak lagi mengejekku. Tapi, usahaku sia sia. Karena, semakin aku meminta mereka untuk pergi, mereka semakin meledekku dan menatapku.
Aku malu sodara. Malu! Baru kali ini aku merasa malu di hadapan mereka berdua. Aku bergegas lari buat menyembunyikan wajahku yang merah merona karena malu dari hadapan mereka berdua. Namun, itu semua gagal maning ketika melangkah ke luar kelas dan …..
“BRUAGH!!” tanpa sadar, aku menabrak seorang yang tiba tiba muncul di depan pintu kelas. Aku terduduk dan mengaduh, yang kutabrak duduk di hadapnku. Menatap wajahku yang sekarang kesakitan. Aku memejamkan mata menahan sakit yang mendera.
Kurasakan sebuah tepukan lembut di pipi kiriku. Memanggil namaku. “Zul…. Zul….” Aku membuka mata. Kulihat Rida di hadapanku kini. Aku mengerjapkan mata. Menyipitkan mata supaya aku bisa melihat dengan jelas siapa yang sebenarnya di hadapanku. Aku memandang sekitar. Kudapati, ruangan dengan cat biru langit khas kamarku, dan aku terbaring di lantai tepat di samping tempat tidurku. Aku mendesah. Ternyata, bukan kenyataan. Ini cuman mimpi.