muslimah

muslimah
bagus

Minggu, 25 Januari 2015

One Big Family - Maher Zain

i wonder, why you and me fight each other
don't you see the similarities between us ??
take a minute and seee your self in the mirror
you look like me those eyes lips you can't denay

have you thought about
why we look the same..
why we feel the same 
don't tell me it's by chance

oooo...
you're my brother..
you're my sister..
we're one big family

oooo...
you're my brother..
you're my sister 
just one big family

it doesn't matter if you life far away from me 
you feel, i feel, you bleed i bleed, you cry and i cry
we sleep and dream, 
sometimes we're sad, sometimes we're happy...
you breathe i breathe,
we love walk talk and we smile

have you thought about.. 
Have you thought about
Why we look the same?
Why we feel the same?
Don't tell me it's by chance

Oh, you're my brother
You're my sister
We're one big family
Oh, you're my brother
You're my sister
Just one big family

I care about you
And I wish you could realize
There's no difference between us two
We're part of one family
No matter how far you are
And even if we don’t know each other
Oh, you and me, me and you, we are one

Oh, you're my brother
You're my sister
We're one big family
Oh, you're my brother
You're my sister
Just one big family 

Selasa, 13 Januari 2015

pasrah segalanya



“Cinta sebelah tangan itu, sakit.” Kata seorang teman saat istirahat makan siang.
"Oh ya ?? Sesakit apa ?” Tanyaku penasaran. Aku mendekatkan kursiku supaya lebih mendengar penjelasannya.
“Rasanya itu, seperti orang yang menderita thypus. Trus, lutut tu rasanya lemas tak terkira. Pokoknya, mau makan susah, liat orang senang senep, apa ajalah dirasakan. Apalagi, kalau lihat ada orang yang tengah bercengkrama dengan mesranya. Weeesss lah. Tambah sakit dan meriangnya tuh.” Lanjutnya. Aku mendengarkan dengan seksama.
“Emang kenapa kok kamu mau tau banget kayaknya ?” Tanyanya tiba-tiba padaku. Aku tergagap. Hampir saja keselek gorengan yang kupesan.
“Ng.. sepertinya, aku pernah seperti itu. Tapi, saat  itu aku tidak tahu kenapa. Rasanya, pedih. Sedih. Rasanya tuh, pengen nangis terus. Gitu dah ah.” Jawabku singkat.
“Kamu pernah ngalamin patah hati?? Aku nggak pernah tahu itu.” Katanya.
Aku hanya diam. Menyeruput teh terakhirku. Memandang keluar jendela kantin. Anganku melayang ke dua tahun lalu.

***
“Kak, ada yang mau ta’aruf sama kakak. Kakak mau ??” Kata adikku. Ini ketiga kalinya aku melakukan ta’aruf setelah dua kali sebelumnya selalu gagal setelah mereka melihat kondisi fisikku.
“Kakak takut dek. Takut mereka nolak kakak lagi karena keadaan kakak yang sekarang.” Kataku. Dia terdiam. Adik laki-lakiku ini memang selalu berusaha mencarikan calon suami untukku. Selama ini, calon yang dita’arufkan juga hasil pencariannya dia.
“Maafin aku ya kak, aku nggak pernah ngasih tau keadaan kakak yang seperti ini sama mereka yang udah bersedia dita’arufkan sama kakak.” Adikku duduk dihadapanku. Aku memandangi wajah gagahnya. Tersenyum simpul menenangkannya.
“Nggak papa. Lagian, kakak yang minta kamu rahasiakan hal ini pada mereka. kakak cuman pengen pendamping yang bisa menerima keadaan kakak apa adanya.” Kataku. Kubelai kepalanya. Kupandangi sekali lagi wajah gagahnya. Mengingatkanku pada ayahanda tercinta. Aku mendesah. Mengambil alih foto ikhwan dari tangannya.
“Gimana orangnya ??” Tanyaku. Ia berdiri lalu menarik kursi kedekatku. Panjang lebar ia jelaskan mengenai orang ini. Ganteng, shalih, baik hati, berpendidikan, dari keturunan keluarga kaya, subhaanallaah pokoknya. Segalanya ia miliki. Benih-benih rasa mulai timbul entah siapa yang memulai. Rasa kagum dan ingin bersama pemuda ini begitu saja muncul.
Pada akhirnya, aku menyetujui untuk melakukan prosesi ta’aruf dengan pemuda ini. Tak ayal, adikku sangat senang mendengarnya. Beribu do’a ia panjatkan untukku. Ia selalu begitu. Seperti ta’aruf-ta’aruf yang sebelumnya.
***
Tibalah waktu dimana akan dilakukan ta’aruf antara aku dengan pemuda itu. Ia datang bersama dengan kedua orang tuanya. Mereka disambut dengan hangat oleh mas Burhan dan Rahman. Sedari tadi, yang kulafadzkan hanya do’a dan permohonan kepada yang maha Kuasa jika dia adalah takdirku, maka satukanlah kami. Jika bukan dia takdirku, bantulah untuk bisa merelakannya.
Tiba waktu saat aku dipanggil. Lengkap dengan kursi roda aku datang keruang tamu. Aku merasa semua mata memandang kearahku. Entah apa yang ada difikiran mereka. aku tidak berani membayangkan. Hujatan, hinaan atau bahkan rasa kasihan.
“Saudara Gilang, ini adik saya yang ketiga. Seperti inilah keadaannya. Kami tidak pernah memberikan keterangan lengkap mengenai hal ini, karena jika kami mengutarakannya, tidak akan ada seorangpun yang mau berta’aruf dengannya.” Kata Mas Burhan.
“Dia mengalami kecelakaan dua tahun lalu. Hingga dia harus kehilangan kedua kakinya. Dan berakhir dikursi roda seperti ini.” Lanjut Mas Burhan.
Hanya hening yang ada. Tak ada komentar, tak ada suara. Benar-benar hening. Aku merasa terintimidasi dengan keadaan ini. Aku sudah hendak mengangat suara namun, ayah Gilang sudah bersuara terlebih dahulu.
“Saya turut berduka atas kejadian yang menimpa adik Mas Burhan. Saya serahkan semuanya kepada anak saya, Burhan. Karena dia yang akan melalui bahtera pernikahan bersama dengan Wulan.” Kata ayah Gilang.
Aku mengintip wajah pemuda yang kebetulan duduk dihadapanku. Lalu kearah wanita yang duduk disebelahnya. Dari raut wajahnya, aku sepertinya tau kalau beliau tidak menyukaiku. Aku hanya pasrah atas keputusan yang akan dibuat pemuda ini. Entah ia akan memilihku atau tidak. Segalanya kuserahkan kepada yang Kuasa.

Rabu, 07 Januari 2015

Smile Moon



Bulan… terkadang saat aku menatapnya, aku hanya berfikir bahwa ia adalah makhluk Tuhan yang paling cantik. Penghias di malam yang gelap, memberi petunjuk pada manusia yang tersesat dengan sinarnya, menenangkan hati siapapun yang memandangnya. Apalagi.. jika di tambah sinar bintang yang bertebaran dI sekelilingnya. Menambah tenang hati siapapun yang melihatnya

Malam menjelang. Fiki belum juga pulang ke rumah. Padahal, aku sudah menunggunya dari satu jam yang lalu. Ada apa gerangan ???? sambil menunggu Fiki aku memandang rembulan yang kini baru berbentuk sabit… hm.. cantik, warnanya yang berpendar kekuningan membuatkku semakin terpana memandangnya. Subhaanallaah memang apapun yang Allah ciptakan selalulah sempurna dan tidak ada sama sekali yang cacat.

“Bulannya cantik ya, kaya aku.” Satu suara mengejutkanku. Aku menoleh ke samping kulihat satu wajah yang selalu tersenyum itu memandangku. 

“Kenapa? Aku cantik ya ? sampe kamu ngeliat begitu?”tanyanya yang masih dengan senyuman.
“Huu ge er aja kamu.. Lagian dari mana aja sih ?? Aku udah nunggu dari tadi eh baru munculnya sekarang. Langsung duduk aja lagi” Aku merengut.

“Hehehe… iya maaf. Kan aku juga telat gara gara ini” Dia menunjukkan bungkusan yang dari tadi disembunyikannya. Disodorkan padaku. Aku mengernyitkan dahi menatapnya. Dia hanya mengangguki mengisyaratkan padaku untuk membuka bungkusan itu. Aku membukanya. Aku sangat terkejut dengan apa yang dia berikan padaku. Entah dari mana dia mendapatkannya. Aku menatapnya. Dia lagi lagi tersenyum padaku. Hm…. Terima kasih ya Allah Engkau mengirimkan ku teman yang paling baik sedunia. 

***

Aku menatap bungkusan itu kembali. Kotak sedang dengan kertas kado berwarna biru warna kesukaanku. Aku pecinta warna biru sedangkan dia pecinta warna gelap. Ketika kutanya ia lagi lagi tersenyum tanpa memberikan alasan apa apa. 

“Suka aja” Itu katanya. Hm.. Simpel seperti orangnya. Namun bukan kepribadiannya yang selalu tersenyum.

Bulan.. kali ini aku kembali memandangnya. Memandang langit hitam gelap yang sudah berhias bintang bintang gemerlapan. Memandangnya dalam diam mengingatkanku padanya. Pada dia yang selalu mengisi hari hariku. Pada dia yang selalu berusaha membuatku bahgaia…..

Malam itu, aku hanya duduk diam di tepi jendela menatap langit adalah hobbiku. Hobbi terpendam yang tak adang seorangpun yang tau. Kecuali…

“Lagi lagi nongkrong dipinggir jendela” Satu suara terdengar. Ya dialah yang selalu menggangguku, menemani hari hariku. Membuatku senang dan bahagia. Terkadang aku merasa, dia sama sekali tidak memiliki kesedihann. Dia selalu memberi senyum. Senyum manis yang membuat hati semua orang bahagia.

“Kenapa suka di jendela ?? kayak kakak tua aja.” Selorohnya. Aku hanya diam tak merespon.

Dia menarik wajahku “Hei, kalau ada orang ngomong tuuu, didengerin. Jangan dicuekin. Okelah kamu lagi sedih, tapi nggak semestinya kamu perlakukan semua orang sama. Setidaknya, kamu beri lawan bicaramu perhatian. Menyenangkan orang dapat pahala kan ???”aku mengangguk menatapnya. Ia tersenyum. Kemudian ikut memandng bintang bintang di langit.

“Aku suka gelap, karena, dengan gelap aku bisa mengekspresikan perasaanku sebebasnya tanpa ada seorangpun yang tau.” Ia menghela nafas.

“Aku juga suka bintang. Karena hanya dengan melihat bintang di langit, aku merasa banyak cahaya yang menemaniku di kegelapan.” Lanjutnya.

Aku hanya bisa menunduk. Kata katanya selalu benar benar membuat sejuk hatiku.

“Aku melihat bintang karena hobby.”

Dia refleks menoleh ke arahku. Tersenyum, dilanjutkan dengan tertawa. Aku memasang wajah cemberut. Dia selalu seperti itu. Selalu bahagia jika aku sudah masuk perangkapnya. “haha… kamu aneh. Masa iya liat bintang itu hobby??”

“Yeee.. Kenapa ?? gak ada yang salah kan ?? mau itu hobby, mau itu karena kebutuhan, semua tergantung sama yang bersangkutan” aku menjawab ketus. Yah, begitulah aku dengan segala kekuranganku. Namun, dia selalu bisa memahamiku. Bagaimanapun keadaanku. Kini, posisinya membelakangi jendela.

“Aku tau kok, aku kan tadi cuman bercanda” entah kenapa, nada bicaranya berubah. Aku tidakk mengharapkan ini. Aku mengharapkan dia yang kembali tertawa ketika aku mengeluarkan kata kata ketus.

Ia masih membelakangi jendela. “Sebenarnya, ada banyak yang mau kuomongin ke kamu dari awal kita ketemu, dari awal kita jalan bareng, dari awal kita ditakdirkan berada di sekolah yang sama.” Panjang kali lebar aku berusaha mendengarkan.

“Kok jadi serius gini sih ??” Aku kembali berkata ketus. Meski dalam hati, aku penasaran apa yang akan dikatakannya. 

“Hmh.. gimana mulainya ya??? Aku udah ngerasa bohong besar sama kamu. Tapi, susah mau ngutarainnya. Sementara, kamu itu, teman pertama dan terakhir buatku. Kamu satu satunya teman yang mau nerima aku apa adanya.” Dalam hati, aku berujar. Gak kebalik tuh ??? aku ingin bertanya apa yang dimaksud. Namun, aku tidak tau apa yang nantinya akan keluar dari lisanku ini. Aku takut, ia tidak jadi membuka rahasianya padaku. Karena jujur saja, aku penasaran sekali tentangnya. Penasaran akan semua rahasia yang sama sekali tidak pernah bocor walau terhadapku. 

Tiba tiba, dia memelukku erat. Erat sekali dia memelukku. Dia jarang, bahkan tidak pernah seperti ini. Sesedih apapun aku, yang ia lakukan paling hanya mengelus kepalaku, merangkul pundakku. Tapi, untuk memeluk seerat ini, ini baru pertama kalinya ia lakukan. 

“Fiki, ng… kamu nangis ??” aku bingung mau berkata apa.  Karena, aku tidak pernah tau kesedihannya. Aku tidak pernah tau masalahnya. Aku juga tidak pernah ada untuknya. Kali ini, aku yang bingung. Akhirnya,  kuputuskan untuk membawanya ke tepi ranjang. 

Ia masih menangis. Aku semakin tidak mengerti. Aduuuh…. Apa sih yang biasanya dilakukan buat ngediamin orang sedih ??? aku nggak berpengalaman dalam hal ini. 

“Kamu bingung yaa ???? Maaf, aku buat kamu bingung. Aku nggak bermaksud buat kamu bingung. Hanya, aku juga bingung gimana ngutarainnya ke kamu” ia tersenyum. Duh, kamu jangan begitu dong, aku tambah bingung jadinya. Ia berdiri menghampiri lemariku yang terletak di pojok ruangan. Mengambil sesuatu di dalamnya. Aku semakin penasaran.

“Ng… aku sebenernya udah lama nyembunyiin ini. Nggak ada satu orang pun yang tau. Termasuk paman dan bibiku yang udah ngasuh aku dari kecil. Aku nggak berani ngaku. Aku takut dengan keadaanku yang sebenarnya, mereka semua takut sama aku. Karena, aku pernah cerita keadaanku sama seorang teman. Dan hasilnya?? Dia menjauhiku sama sekali. Nggak ada yang mau dekat sama aku. Kejadian itu, sebelum aku kehilangan kedua orang tuaku. Setelah itu, aku tertutup meskipun orang yang paling dekat denganku, aku tidak memberi tahu.”

“kamu juga termasuk di dalamnya. Aku selalu bisa menghiburmu. Karena, dengan hanya melihat senyummu, aku merasa tenang. Aku nggak rela kamu terus terusan sedih. Aku nggak rela, kamu terus terusan diam. Dan, aku nggak mau kamu jadi tambah diam kalau tahu ada apa sebenarnya dengan diriku.”  Aku semakin diam. Benar benar diam seribu bahasa. Sebenarnya, apa yang mau kamu utarakan sih, Fiki?? Aku jadi tambah bingung nih.

Ia lalu menyodorkan secarik kertas. aku tidak tau kertas apa itu. Aku mendekatkan kepala. Berusaha membaca apa yang ada di lamanya. Namun, aku menyerah sebelum mencoba. Isinya bahasa inggris semua. Aku tidak bisa dalam hal ini. Aku memilih menyerah.

“udah, kamu nggak bakal bisa baca tulisan ini.” Ia menarik kepalaku ke belakang. Huh.. dia memang selalu meledekku.

“Aku sakit, Da..” katanya pendek.

“Kamu tau kan, kalau aku sering batuk ? keadaan yang dingin di kota ini, membuat batukku semakin parah. Bahkan terkadang, mengeluarkan darah. Aku tau aku menderita sakit paru paru. Yang namanya saja, aku lupa. Aku takut mengingatnya. Aku takut”

“Ng…. Lalu ??? kenapa kamu ceritakan semua ini padaku ??”

“Kamu masih belum faham ???? Aku menganggapmu teman. Teman sepenuhnya” ia kembali berkata yang kurang aku mengerti.

“Memangnya, dengan kamu berkata seperti ini, aku bisa bantu kamu ??”

“Hhh…. Yaa, aku tidak bisa memaksakan dirimu untuk mengerti. Tapi, aku ingin tau kamu satu hal yang dari dulu aku simpan. Aku….jatah hidupku tinggal 2 hari lagi.” Katanya.

Aku terhenyak kaget. Mana bisa begitu ?????

***

“Terus, terus ??? ceritanya gimana lanjutanhya ???” Seorang gadis dengan rambut blondenya antusias mendengarkan.

“Well, lanjutannya …. Aku bingung.” Gadis berjilbab motif abu putih di depannya mendesah.

“Tapi, jujur ini cerita kurang menarik tau. Kurang ‘Ngeh’ gitu. Kurang dapet kesannya. Harusnya, dibuat kayak drama drama melow asal jepang, atau korea, yang lain deh.” Kata gadis berjilbab lainnya.

“Ng.. aku nggak sependapat sama kamu Ndin! Udah bagus kok, aku aja hampir ketipu sama alur ceritanya. Aseli! ku pikir, inii cerita orang pacaran. Tapi, setelah difikir fikir nggak mungkin orang alim macam teman kita satu ini bikin cerita kayak gitu.” Kata gadis rambut blonde.

“Hee… ya udah sih, aku kan di sini diminta jadi komentator. Yaa… aku komen lah. Wong si Jihan yang punya cerita aja nggak sewot kok. Masak kamu yang cuman jadi pendengar setia sewot??” Kata gadis berjilbab yang disebut ‘Ndin’.

Si gadis blonde dengan Andin membuang muka.

“Hey.. Hey.. kalian ini ngapain sih ?? udah ah, jangan pada buang muka gitu. Lagian, ini kan cuman cerita aja. Aku juga baru mulai. Jadi, nggak masalah kalian berpendapat apa. Menurutku, itu semua ngebangun kok. Udah. Senyum dong !! jelek ah, pada manyun kaya bebek gitu.”

Mereka hanya diam sejenak. Sementara di luar, bulan sedang tersenyum melihat mereka.