Bulan… terkadang saat aku
menatapnya, aku hanya berfikir bahwa ia adalah makhluk Tuhan yang paling
cantik. Penghias di malam yang gelap, memberi petunjuk pada manusia yang
tersesat dengan sinarnya, menenangkan hati siapapun yang memandangnya.
Apalagi.. jika di tambah sinar bintang yang bertebaran dI sekelilingnya.
Menambah tenang hati siapapun yang melihatnya
Malam menjelang. Fiki belum juga
pulang ke rumah. Padahal, aku sudah menunggunya dari satu jam yang lalu. Ada
apa gerangan ???? sambil menunggu Fiki aku memandang rembulan yang kini baru
berbentuk sabit… hm.. cantik, warnanya yang berpendar kekuningan membuatkku
semakin terpana memandangnya. Subhaanallaah memang apapun yang Allah ciptakan
selalulah sempurna dan tidak ada sama sekali yang cacat.
“Bulannya cantik ya, kaya aku.”
Satu suara mengejutkanku. Aku menoleh ke samping kulihat satu wajah yang selalu
tersenyum itu memandangku.
“Kenapa? Aku cantik ya ? sampe
kamu ngeliat begitu?”tanyanya yang masih dengan senyuman.
“Huu ge er aja kamu.. Lagian
dari mana aja sih ?? Aku udah nunggu dari tadi eh baru munculnya sekarang.
Langsung duduk aja lagi” Aku merengut.
“Hehehe… iya maaf. Kan aku juga
telat gara gara ini” Dia menunjukkan bungkusan yang dari tadi disembunyikannya.
Disodorkan padaku. Aku mengernyitkan dahi menatapnya. Dia hanya mengangguki
mengisyaratkan padaku untuk membuka bungkusan itu. Aku membukanya. Aku sangat
terkejut dengan apa yang dia berikan padaku. Entah dari mana dia
mendapatkannya. Aku menatapnya. Dia lagi lagi tersenyum padaku. Hm…. Terima
kasih ya Allah Engkau mengirimkan ku teman yang paling baik sedunia.
***
Aku menatap bungkusan itu
kembali. Kotak sedang dengan kertas kado berwarna biru warna kesukaanku. Aku
pecinta warna biru sedangkan dia pecinta warna gelap. Ketika kutanya ia lagi
lagi tersenyum tanpa memberikan alasan apa apa.
“Suka aja” Itu katanya. Hm.. Simpel seperti orangnya. Namun bukan kepribadiannya yang selalu tersenyum.
Bulan.. kali ini aku kembali
memandangnya. Memandang langit hitam gelap yang sudah berhias bintang bintang
gemerlapan. Memandangnya dalam diam mengingatkanku padanya. Pada dia yang
selalu mengisi hari hariku. Pada dia yang selalu berusaha membuatku bahgaia…..
Malam itu, aku hanya duduk diam
di tepi jendela menatap langit adalah hobbiku. Hobbi terpendam yang tak adang
seorangpun yang tau. Kecuali…
“Lagi lagi nongkrong dipinggir
jendela” Satu suara terdengar. Ya dialah yang selalu menggangguku, menemani
hari hariku. Membuatku senang dan bahagia. Terkadang aku merasa, dia sama
sekali tidak memiliki kesedihann. Dia selalu memberi senyum. Senyum manis yang
membuat hati semua orang bahagia.
“Kenapa suka di jendela ?? kayak
kakak tua aja.” Selorohnya. Aku hanya diam tak merespon.
Dia menarik wajahku “Hei, kalau
ada orang ngomong tuuu, didengerin. Jangan dicuekin. Okelah kamu lagi sedih,
tapi nggak semestinya kamu perlakukan semua orang sama. Setidaknya, kamu beri
lawan bicaramu perhatian. Menyenangkan orang dapat pahala kan ???”aku
mengangguk menatapnya. Ia tersenyum. Kemudian ikut memandng bintang bintang di
langit.
“Aku suka gelap, karena, dengan
gelap aku bisa mengekspresikan perasaanku sebebasnya tanpa ada seorangpun yang
tau.” Ia menghela nafas.
“Aku juga suka bintang. Karena
hanya dengan melihat bintang di langit, aku merasa banyak cahaya yang
menemaniku di kegelapan.” Lanjutnya.
Aku hanya bisa menunduk. Kata
katanya selalu benar benar membuat sejuk hatiku.
“Aku melihat bintang karena
hobby.”
Dia refleks menoleh ke arahku.
Tersenyum, dilanjutkan dengan tertawa. Aku memasang wajah cemberut. Dia selalu
seperti itu. Selalu bahagia jika aku sudah masuk perangkapnya. “haha… kamu
aneh. Masa iya liat bintang itu hobby??”
“Yeee.. Kenapa ?? gak ada yang
salah kan ?? mau itu hobby, mau itu karena kebutuhan, semua tergantung sama
yang bersangkutan” aku menjawab ketus. Yah, begitulah aku dengan segala
kekuranganku. Namun, dia selalu bisa memahamiku. Bagaimanapun keadaanku. Kini,
posisinya membelakangi jendela.
“Aku tau kok, aku kan tadi cuman
bercanda” entah kenapa, nada bicaranya berubah. Aku tidakk mengharapkan ini.
Aku mengharapkan dia yang kembali tertawa ketika aku mengeluarkan kata kata
ketus.
Ia masih membelakangi jendela.
“Sebenarnya, ada banyak yang mau kuomongin ke kamu dari awal kita ketemu, dari
awal kita jalan bareng, dari awal kita ditakdirkan berada di sekolah yang
sama.” Panjang kali lebar aku berusaha mendengarkan.
“Kok jadi serius gini sih ??” Aku kembali berkata ketus. Meski dalam hati, aku penasaran apa yang akan
dikatakannya.
“Hmh.. gimana mulainya ya??? Aku
udah ngerasa bohong besar sama kamu. Tapi, susah mau ngutarainnya. Sementara,
kamu itu, teman pertama dan terakhir buatku. Kamu satu satunya teman yang mau
nerima aku apa adanya.” Dalam hati, aku berujar. Gak kebalik tuh ??? aku ingin
bertanya apa yang dimaksud. Namun, aku tidak tau apa yang nantinya akan keluar
dari lisanku ini. Aku takut, ia tidak jadi membuka rahasianya padaku. Karena
jujur saja, aku penasaran sekali tentangnya. Penasaran akan semua rahasia yang
sama sekali tidak pernah bocor walau terhadapku.
Tiba tiba, dia memelukku erat.
Erat sekali dia memelukku. Dia jarang, bahkan tidak pernah seperti ini. Sesedih
apapun aku, yang ia lakukan paling hanya mengelus kepalaku, merangkul pundakku.
Tapi, untuk memeluk seerat ini, ini baru pertama kalinya ia lakukan.
“Fiki, ng… kamu nangis ??” aku
bingung mau berkata apa. Karena, aku
tidak pernah tau kesedihannya. Aku tidak pernah tau masalahnya. Aku juga tidak
pernah ada untuknya. Kali ini, aku yang bingung. Akhirnya, kuputuskan untuk membawanya ke tepi ranjang.
Ia masih menangis. Aku semakin
tidak mengerti. Aduuuh…. Apa sih yang biasanya dilakukan buat ngediamin orang
sedih ??? aku nggak berpengalaman dalam hal ini.
“Kamu bingung yaa ???? Maaf, aku
buat kamu bingung. Aku nggak bermaksud buat kamu bingung. Hanya, aku juga
bingung gimana ngutarainnya ke kamu” ia tersenyum. Duh, kamu jangan begitu
dong, aku tambah bingung jadinya. Ia berdiri menghampiri lemariku yang terletak
di pojok ruangan. Mengambil sesuatu di dalamnya. Aku semakin penasaran.
“Ng… aku sebenernya udah lama
nyembunyiin ini. Nggak ada satu orang pun yang tau. Termasuk paman dan bibiku
yang udah ngasuh aku dari kecil. Aku nggak berani ngaku. Aku takut dengan
keadaanku yang sebenarnya, mereka semua takut sama aku. Karena, aku pernah
cerita keadaanku sama seorang teman. Dan hasilnya?? Dia menjauhiku sama sekali.
Nggak ada yang mau dekat sama aku. Kejadian itu, sebelum aku kehilangan kedua orang
tuaku. Setelah itu, aku tertutup meskipun orang yang paling dekat denganku, aku
tidak memberi tahu.”
“kamu juga termasuk di dalamnya.
Aku selalu bisa menghiburmu. Karena, dengan hanya melihat senyummu, aku merasa
tenang. Aku nggak rela kamu terus terusan sedih. Aku nggak rela, kamu terus
terusan diam. Dan, aku nggak mau kamu jadi tambah diam kalau tahu ada apa
sebenarnya dengan diriku.” Aku semakin
diam. Benar benar diam seribu bahasa. Sebenarnya, apa yang mau kamu utarakan
sih, Fiki?? Aku jadi tambah bingung nih.
Ia lalu menyodorkan secarik
kertas. aku tidak tau kertas apa itu. Aku mendekatkan kepala. Berusaha membaca
apa yang ada di lamanya. Namun, aku menyerah sebelum mencoba. Isinya bahasa
inggris semua. Aku tidak bisa dalam hal ini. Aku memilih menyerah.
“udah, kamu nggak bakal bisa
baca tulisan ini.” Ia menarik kepalaku ke belakang. Huh.. dia memang selalu
meledekku.
“Aku sakit, Da..” katanya
pendek.
“Kamu tau kan, kalau aku sering
batuk ? keadaan yang dingin di kota ini, membuat batukku semakin parah. Bahkan
terkadang, mengeluarkan darah. Aku tau aku menderita sakit paru paru. Yang
namanya saja, aku lupa. Aku takut mengingatnya. Aku takut”
“Ng…. Lalu ??? kenapa kamu
ceritakan semua ini padaku ??”
“Kamu masih belum faham ???? Aku
menganggapmu teman. Teman sepenuhnya” ia kembali berkata yang kurang aku
mengerti.
“Memangnya, dengan kamu berkata
seperti ini, aku bisa bantu kamu ??”
“Hhh…. Yaa, aku tidak bisa
memaksakan dirimu untuk mengerti. Tapi, aku ingin tau kamu satu hal yang dari
dulu aku simpan. Aku….jatah hidupku tinggal 2 hari lagi.” Katanya.
Aku terhenyak kaget. Mana bisa
begitu ?????
***
“Terus, terus ??? ceritanya
gimana lanjutanhya ???” Seorang gadis dengan rambut blondenya antusias
mendengarkan.
“Well, lanjutannya …. Aku
bingung.” Gadis berjilbab motif abu putih di depannya mendesah.
“Tapi, jujur ini cerita kurang
menarik tau. Kurang ‘Ngeh’ gitu. Kurang dapet kesannya. Harusnya, dibuat kayak
drama drama melow asal jepang, atau korea, yang lain deh.” Kata gadis berjilbab
lainnya.
“Ng.. aku nggak sependapat sama
kamu Ndin! Udah bagus kok, aku aja hampir ketipu sama alur ceritanya. Aseli! ku
pikir, inii cerita orang pacaran. Tapi, setelah difikir fikir nggak mungkin
orang alim macam teman kita satu ini bikin cerita kayak gitu.” Kata gadis rambut
blonde.
“Hee… ya udah sih, aku kan di
sini diminta jadi komentator. Yaa… aku komen lah. Wong si Jihan yang punya
cerita aja nggak sewot kok. Masak kamu yang cuman jadi pendengar setia sewot??”
Kata gadis berjilbab yang disebut ‘Ndin’.
Si gadis blonde dengan Andin
membuang muka.
“Hey.. Hey.. kalian ini ngapain
sih ?? udah ah, jangan pada buang muka gitu. Lagian, ini kan cuman cerita aja.
Aku juga baru mulai. Jadi, nggak masalah kalian berpendapat apa. Menurutku, itu
semua ngebangun kok. Udah. Senyum dong !! jelek ah, pada manyun kaya bebek
gitu.”
Mereka hanya diam sejenak.
Sementara di luar, bulan sedang tersenyum melihat mereka.