muslimah

muslimah
bagus

Selasa, 13 Januari 2015

pasrah segalanya



“Cinta sebelah tangan itu, sakit.” Kata seorang teman saat istirahat makan siang.
"Oh ya ?? Sesakit apa ?” Tanyaku penasaran. Aku mendekatkan kursiku supaya lebih mendengar penjelasannya.
“Rasanya itu, seperti orang yang menderita thypus. Trus, lutut tu rasanya lemas tak terkira. Pokoknya, mau makan susah, liat orang senang senep, apa ajalah dirasakan. Apalagi, kalau lihat ada orang yang tengah bercengkrama dengan mesranya. Weeesss lah. Tambah sakit dan meriangnya tuh.” Lanjutnya. Aku mendengarkan dengan seksama.
“Emang kenapa kok kamu mau tau banget kayaknya ?” Tanyanya tiba-tiba padaku. Aku tergagap. Hampir saja keselek gorengan yang kupesan.
“Ng.. sepertinya, aku pernah seperti itu. Tapi, saat  itu aku tidak tahu kenapa. Rasanya, pedih. Sedih. Rasanya tuh, pengen nangis terus. Gitu dah ah.” Jawabku singkat.
“Kamu pernah ngalamin patah hati?? Aku nggak pernah tahu itu.” Katanya.
Aku hanya diam. Menyeruput teh terakhirku. Memandang keluar jendela kantin. Anganku melayang ke dua tahun lalu.

***
“Kak, ada yang mau ta’aruf sama kakak. Kakak mau ??” Kata adikku. Ini ketiga kalinya aku melakukan ta’aruf setelah dua kali sebelumnya selalu gagal setelah mereka melihat kondisi fisikku.
“Kakak takut dek. Takut mereka nolak kakak lagi karena keadaan kakak yang sekarang.” Kataku. Dia terdiam. Adik laki-lakiku ini memang selalu berusaha mencarikan calon suami untukku. Selama ini, calon yang dita’arufkan juga hasil pencariannya dia.
“Maafin aku ya kak, aku nggak pernah ngasih tau keadaan kakak yang seperti ini sama mereka yang udah bersedia dita’arufkan sama kakak.” Adikku duduk dihadapanku. Aku memandangi wajah gagahnya. Tersenyum simpul menenangkannya.
“Nggak papa. Lagian, kakak yang minta kamu rahasiakan hal ini pada mereka. kakak cuman pengen pendamping yang bisa menerima keadaan kakak apa adanya.” Kataku. Kubelai kepalanya. Kupandangi sekali lagi wajah gagahnya. Mengingatkanku pada ayahanda tercinta. Aku mendesah. Mengambil alih foto ikhwan dari tangannya.
“Gimana orangnya ??” Tanyaku. Ia berdiri lalu menarik kursi kedekatku. Panjang lebar ia jelaskan mengenai orang ini. Ganteng, shalih, baik hati, berpendidikan, dari keturunan keluarga kaya, subhaanallaah pokoknya. Segalanya ia miliki. Benih-benih rasa mulai timbul entah siapa yang memulai. Rasa kagum dan ingin bersama pemuda ini begitu saja muncul.
Pada akhirnya, aku menyetujui untuk melakukan prosesi ta’aruf dengan pemuda ini. Tak ayal, adikku sangat senang mendengarnya. Beribu do’a ia panjatkan untukku. Ia selalu begitu. Seperti ta’aruf-ta’aruf yang sebelumnya.
***
Tibalah waktu dimana akan dilakukan ta’aruf antara aku dengan pemuda itu. Ia datang bersama dengan kedua orang tuanya. Mereka disambut dengan hangat oleh mas Burhan dan Rahman. Sedari tadi, yang kulafadzkan hanya do’a dan permohonan kepada yang maha Kuasa jika dia adalah takdirku, maka satukanlah kami. Jika bukan dia takdirku, bantulah untuk bisa merelakannya.
Tiba waktu saat aku dipanggil. Lengkap dengan kursi roda aku datang keruang tamu. Aku merasa semua mata memandang kearahku. Entah apa yang ada difikiran mereka. aku tidak berani membayangkan. Hujatan, hinaan atau bahkan rasa kasihan.
“Saudara Gilang, ini adik saya yang ketiga. Seperti inilah keadaannya. Kami tidak pernah memberikan keterangan lengkap mengenai hal ini, karena jika kami mengutarakannya, tidak akan ada seorangpun yang mau berta’aruf dengannya.” Kata Mas Burhan.
“Dia mengalami kecelakaan dua tahun lalu. Hingga dia harus kehilangan kedua kakinya. Dan berakhir dikursi roda seperti ini.” Lanjut Mas Burhan.
Hanya hening yang ada. Tak ada komentar, tak ada suara. Benar-benar hening. Aku merasa terintimidasi dengan keadaan ini. Aku sudah hendak mengangat suara namun, ayah Gilang sudah bersuara terlebih dahulu.
“Saya turut berduka atas kejadian yang menimpa adik Mas Burhan. Saya serahkan semuanya kepada anak saya, Burhan. Karena dia yang akan melalui bahtera pernikahan bersama dengan Wulan.” Kata ayah Gilang.
Aku mengintip wajah pemuda yang kebetulan duduk dihadapanku. Lalu kearah wanita yang duduk disebelahnya. Dari raut wajahnya, aku sepertinya tau kalau beliau tidak menyukaiku. Aku hanya pasrah atas keputusan yang akan dibuat pemuda ini. Entah ia akan memilihku atau tidak. Segalanya kuserahkan kepada yang Kuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar