“Cinta
sebelah tangan itu, sakit.” Kata seorang teman saat istirahat makan siang.
"Oh
ya ?? Sesakit apa ?” Tanyaku penasaran. Aku mendekatkan kursiku supaya lebih
mendengar penjelasannya.
“Rasanya
itu, seperti orang yang menderita thypus. Trus, lutut tu rasanya lemas tak
terkira. Pokoknya, mau makan susah, liat orang senang senep, apa ajalah
dirasakan. Apalagi, kalau lihat ada orang yang tengah bercengkrama dengan
mesranya. Weeesss lah. Tambah sakit dan meriangnya tuh.” Lanjutnya. Aku
mendengarkan dengan seksama.
“Emang
kenapa kok kamu mau tau banget kayaknya ?” Tanyanya tiba-tiba padaku. Aku
tergagap. Hampir saja keselek gorengan yang kupesan.
“Ng..
sepertinya, aku pernah seperti itu. Tapi, saat
itu aku tidak tahu kenapa. Rasanya, pedih. Sedih. Rasanya tuh, pengen
nangis terus. Gitu dah ah.” Jawabku singkat.
“Kamu
pernah ngalamin patah hati?? Aku nggak pernah tahu itu.” Katanya.
Aku
hanya diam. Menyeruput teh terakhirku. Memandang keluar jendela kantin. Anganku
melayang ke dua tahun lalu.
***
“Kak,
ada yang mau ta’aruf sama kakak. Kakak mau ??” Kata adikku. Ini ketiga kalinya
aku melakukan ta’aruf setelah dua kali sebelumnya selalu gagal setelah mereka melihat
kondisi fisikku.
“Kakak
takut dek. Takut mereka nolak kakak lagi karena keadaan kakak yang sekarang.”
Kataku. Dia terdiam. Adik laki-lakiku ini memang selalu berusaha mencarikan
calon suami untukku. Selama ini, calon yang dita’arufkan juga hasil
pencariannya dia.
“Maafin
aku ya kak, aku nggak pernah ngasih tau keadaan kakak yang seperti ini sama
mereka yang udah bersedia dita’arufkan sama kakak.” Adikku duduk dihadapanku. Aku
memandangi wajah gagahnya. Tersenyum simpul menenangkannya.
“Nggak
papa. Lagian, kakak yang minta kamu rahasiakan hal ini pada mereka. kakak cuman
pengen pendamping yang bisa menerima keadaan kakak apa adanya.” Kataku. Kubelai
kepalanya. Kupandangi sekali lagi wajah gagahnya. Mengingatkanku pada ayahanda
tercinta. Aku mendesah. Mengambil alih foto ikhwan dari tangannya.
“Gimana
orangnya ??” Tanyaku. Ia berdiri lalu menarik kursi kedekatku. Panjang lebar ia
jelaskan mengenai orang ini. Ganteng, shalih, baik hati, berpendidikan, dari
keturunan keluarga kaya, subhaanallaah pokoknya. Segalanya ia miliki. Benih-benih
rasa mulai timbul entah siapa yang memulai. Rasa kagum dan ingin bersama pemuda
ini begitu saja muncul.
Pada
akhirnya, aku menyetujui untuk melakukan prosesi ta’aruf dengan pemuda ini. Tak
ayal, adikku sangat senang mendengarnya. Beribu do’a ia panjatkan untukku. Ia
selalu begitu. Seperti ta’aruf-ta’aruf yang sebelumnya.
***
Tibalah
waktu dimana akan dilakukan ta’aruf antara aku dengan pemuda itu. Ia datang
bersama dengan kedua orang tuanya. Mereka disambut dengan hangat oleh mas
Burhan dan Rahman. Sedari tadi, yang kulafadzkan hanya do’a dan permohonan
kepada yang maha Kuasa jika dia adalah takdirku, maka satukanlah kami. Jika
bukan dia takdirku, bantulah untuk bisa merelakannya.
Tiba
waktu saat aku dipanggil. Lengkap dengan kursi roda aku datang keruang tamu.
Aku merasa semua mata memandang kearahku. Entah apa yang ada difikiran mereka.
aku tidak berani membayangkan. Hujatan, hinaan atau bahkan rasa kasihan.
“Saudara
Gilang, ini adik saya yang ketiga. Seperti inilah keadaannya. Kami tidak pernah
memberikan keterangan lengkap mengenai hal ini, karena jika kami
mengutarakannya, tidak akan ada seorangpun yang mau berta’aruf dengannya.” Kata
Mas Burhan.
“Dia
mengalami kecelakaan dua tahun lalu. Hingga dia harus kehilangan kedua kakinya.
Dan berakhir dikursi roda seperti ini.” Lanjut Mas Burhan.
Hanya
hening yang ada. Tak ada komentar, tak ada suara. Benar-benar hening. Aku
merasa terintimidasi dengan keadaan ini. Aku sudah hendak mengangat suara
namun, ayah Gilang sudah bersuara terlebih dahulu.
“Saya
turut berduka atas kejadian yang menimpa adik Mas Burhan. Saya serahkan
semuanya kepada anak saya, Burhan. Karena dia yang akan melalui bahtera
pernikahan bersama dengan Wulan.” Kata ayah Gilang.
Aku
mengintip wajah pemuda yang kebetulan duduk dihadapanku. Lalu kearah wanita
yang duduk disebelahnya. Dari raut wajahnya, aku sepertinya tau kalau beliau
tidak menyukaiku. Aku hanya pasrah atas keputusan yang akan dibuat pemuda ini.
Entah ia akan memilihku atau tidak. Segalanya kuserahkan kepada yang Kuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar